SEJARAH PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
Kapan Muhammadiyah masuk ke Sumatera Timur ini? Oleh Bapak Kalimin
Sunar dalam makalahnya dijelaskan bahwa pengesahan berdirinya
Muhammadiyah di Sumatera Timur adalah tanggal 1 juli 1928, namun
kegiatan propaganda (dakwah) gerakan muhammadiyah sudah dimulai sejak 25
Nopember 1927 di Jalan Nagapatan (Jl. Kdri) Kampung Keling Medan
(sampai kini rumah itu masih ada, tetapi nampaknya dalam penguasaan
orang lain).
Kepemimpinan
Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara 1985-1990 berjalan kompak,
konsolidasi terlaksana memadai, sehingga kegairahan bermuhammadiyah
tetap hidup dan berkembang di Sumatera Utara. Dalam lima tahun ini
terasa perkembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah sangat pesat, seperti
yang terdapat pada Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, (Rektor dr.
Dalmi Iskandar, Drs. H. Chairuman Pasaribu, kini H. Bahdin Nur Tanjung,
SE,MM), Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (Rektor Maraginda
Harahap, Drs. Mansur Suadi Siregar dan kini H. Bahdin Nur Tanjung,
SE,MM). Demikian juga kemajuan pondok pesantren antara lain Pesantren
KHA Dahlan Sipirok, Darul Arqam Kerajaan Simalungun dan Pesantren Kuala
Madu Binjai. Hal ini merupakan lembaga pendidikan Muhammadiyah
melahirkan kader-kader penerus Muhammadiyah yang akan datang.
Lima tahun kemudian, dilangsungkan Musyawarah Wilayah ke-8 di Sibolga
pada tanggal 29-31 Desember 1995, yang dibuka secara resmi Oleh Gubernur
Sumatera Utara H. Raja Inal Siregar, menurut Gubsu dalam sambutannya
pada acara pembukaan, menyatakan bahwa banyak putara-puteri Indonesia
berasal dari anak didik Muhammadiyah. Katanya mereka banyak memegang
posisi penting atau pimpinan di berbagai lapangan kehidupan, baik
meliter, sipil, tokoh masyarakat dan ulama. Selanjutnya Gubsu
menjelaskan, Muhammadiyah dengan kemandiriannya telah menata warganya
dengan disiplin, tertib dan dengan semangat persatuan dan kesatuan.
(Waspada No. 17994 tanggal 30-12-95).
Sesuai keputusan Muktamar ke-43 Aceh, program Muhammadiyah diwarnai
oleh lima prinsip doktrin Muhammadiyah yang cukup luwes untuk menghadapi
tantangan-tantangan Muhammadiyah ke depan yaitu :
Hal itu harus sejalan dengan visi Muhammadiyah, sesuai keputusan
Muktamar Muhammadiyah ke-44 Jakarta, yakni Muhammadiyah adalah gerakan
Islam, bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, sesuai watak tajdidnya
mengajakl masyarakat untuk stikomah dan aktif berdakwah Islam amar
makruf nahi munkar, sehingga berfungsi sebagai Rahmatan tilalamin menuju
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
A. Muhammadiyah Sumatera Timur
Dulu Sumatera Timur , yaitu Gubernemen Sumatera Pesisir Timur dan
daerah taklukannya kini disebut orang Sumatera Utara, yang meliputi
daerah Langkat, Binjai, Medan, Deli serdang , Tebing Tinggi, Pematang
Siantar, Simalungun, Asahan, Tanjung Balai, Karo, dan Labuhan Batu
sampai ke Bagan Siapi-api. Daerah tersebut diatas, dinamai juga dataran
rendah , subur atau danau Sumatera bagian Timur . Di daerah dataran
rendah subur itu, dominan dihuni penduduk beragama islam secara turun
temurun, sejak masuk islam abad ke-7 di Pantai Barat Sumatera. Daerah
dipimpin raja-raja melayu dan tuan-tuan tanah perkebunan , disebut
dengan Sultan. Sedang kekuasaan agama diamahkan kepada ulama (guru
agama). Dan kehidupan beragama diatur dalam satu mazhab tertentu (Mazhab
Syafiiyah) selain dari itu dianggap membawa paham baru oleh sebagian
masyarakat awam.
Dalam serasehan sehari Muhammadiyah Sumatera Timur(22-7-1990), Kalimin Sunar menulis dalam makalahnya , mengutip ungkapan ustaz HA. Halim Hasan menjelasakan, bahwa suasana kehidupan awal tahun 1990-an ditandai ummat Islam berdagang sambil menunjukkan sikap fanatisme Islam yang kuat ibadah menggunakan sarana masjid, Mesjid didirikan oleh Sultan Raja-raja, semua beragama Islam. Fanatisme terasa pada khutbah Jum'at, mendoakan raja-raja tetap sehat dalam pemerintahannya. Sampai kini sisa-sisanya masih ada, seperti Masjid Raya Medan dan Tanjung Pura, dll. Suasana keagamaan (Islam) juga terasa pada acara peresmian perkawinan, akikah kelahiran anak, pembagian harta warisan, penguburan jenazah,dll.
Karya besar ulama bidang, fikih, tasawuf,Ushuluddin, dan kitab lainnya ditulis dengan kaligrafi/khat arab atau tulisan melayu, akhirnya populer dengan sebutan kitab jawi. Dan orang tua dalam mendidik anak -anaknya, belum merasa lepas tanggung jawabnya, bila anaknya belum pandai menulis arab melayu tersebut, khususnya pandai membaca Al-Qur'an. Walaupun anak tidak mengerti sedikitpun makna Al-Qur'an yang dibacanya. Oleh sebab itu penduduk melayu fasih membaca Al-Qur'an dan pandai sembayang (shalat), mereka semua fanatik islam.
Kapan Muhammadiyah masuk ke Sumatera Timur ini? Oleh Bapak Kalimin
Sunar dalam makalahnya dijelaskan bahwa pengesahan berdirinya
Muhammadiyah di Sumatera Timur adalah tanggal 1 juli 1928, namun
kegiatan propaganda (dakwah) gerakan muhammadiyah sudah dimulai sejak 25
Nopember 1927 di Jalan Nagapatan (Jl. Kdri) Kampung Keling Medan
(sampai kini rumah itu masih ada, tetapi nampaknya dalam penguasaan
orang lain).
Muhammadiyah didirikan oleh perantau-perantau dari Minangkabau,Jawa
dan Mandailing, mereka dulu dikampung halamannya sudah menerima paham
gerakan pembaharuan Islam, disebut Muhammadiyah. Terutama di Minangkabau
yang sudah berdiri Muhammadiyah sejak tahun 1925 di Sungai Batang
Maninjau dan perantau Jawa Yogyakarta sudah berdiri Muhammadiyah sejak
18 Nopember 1912. Walaupun mereka bukan kategori mubaligh yang terampil
dan sengaja dikirim, tetapi mereka simpatisan Muhammadiyah yang
tersentuh hatinya dengan gerakan Muhammadiyah di Medan.
Mulai menghimpun kawan -kaawan yang sepaham, ditandai ketika
muzakarah, dan yang shalat disekitar pajak (pekan) bundar (kimi sudah
dibongkar). Disanalah bertemu St. Juin, Mas Pono, Sutan Marajo, Kari
Suib dan kawan-kawan lain dari Tapanuli, mereka sepakat mendirikan
Muhammadiyah, gerakan awal ini dirintis sejak tahun 1923, terutama Mas
Pono yang datang dari Yogyakarta, maka didekatilah HR. Muhammad Said
yang pernah menjadi Ketua Syarikat Islam di Pematang Siantar, sebagai
tenaga baru kekuatan Muhammadiyah.
Dengan demikian sejak tanggal 1 juli 1928 dibentuklah Muhammadiyah
secara resmi yang diamanahkan ketua pertama kepada HR Muhammad Said dan
Mas Pono sebagai sekretaris serta dilengkapi oleh St. Juin dan Kari
Suib, sebagai anggota mereka aktif menjadi orang kepercayaan kerjasama
dengan pimpinan pusat dan lembaga-lembaga lainnya.
Frekuensi gerakan dakwah Muhammadiyah semakin ditingkatkan, dengan
mendatangkan penceramah dari Sumatera Barat dan penceramah lainnya, yang
terfokus pada masalah usholli, meluruskan arah kiblat, shalat pakai
dasi, kenduri kematian. ziarah kubur(kuburan keramat), shalat Hari Raya
dilapangan terbuka dan shalat lain 11 rakaat, terutama bulan Ramadhan.
Gerakan Muhammadiyah perkotaan ini, meluas sampai kekota pesisir
lainnya, mulai muncul gerombolan kecil Muhammadiyah (sekarang pimpinan
Ranting Muhammadiyah). Hampir rata-rata pada tahun 1930-an itu berdiri
ranting Muhammadiyah di Sumatera Utara, baik didasari oleh ilmu agama
yang memadai, tetapi ada juga yang berani-beranian saja. Diantara Cabang
Muhammadiyah yang didirikan tahunan 1930-an itu antara lain:
1. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Medan Kota, 25 Nopember 1927
2. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pancurbatu, 18 Januari 1928
3. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pematang Tanah Jawa, 27 April 1920
4. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tebing Tinggi, 1 Mei 1929
5. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kisaran, 23 Desember 1929
6. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pematang Siantar, 27 Januari 1930
7. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kerasaan, 5 Maret 1930
8. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Glugur, 1 Juli 1930
9. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanjung Balai, 12 Oktober 1930
10. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Binjai, 20 Nopember 1930
11. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Perdagangan, 7 Desember 1930
12. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Indra Pura, 16 Juni 1931
Pada kongres ke-30 Muhammadiyah di Bukit Tinggi, ditetapkan HR
Muhammad Said menjadi ketua perwakilan Hofd Bestur (HB) Muhammadiyah
Daerah Pesisir Timur. Jabatan ini beliau emban sampai akhir hayatnya
(wafat 22 Desember 1939). Dengan wafatnya HR Muhammad Said, Untuk
sementara Hofd Bestur Muhammadiyah Sumatera Timur dijabat oleh Prof.D.r.
Buya Hamka, Tami Marihat Usnian, HM Bustami Ibrahim, dan Agus sebagai
sekretaris.
Dan sekitar Bulan Juli 1941 berlangsung konferensi di Binjai,
pengumpul suara terbanyak adalah H. Saleh dari pematang siantar mendapat
suara terbanyak, dan berpeluang menjadi konsul Muhammadiyah, akan
tetapi dia mengundurkan diri, maka ditetapkan buya Hamka sebagai ketua
Konsul Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur. Jabatan Konsul Muhammadiyah
ini dipegangnya sampai masa Jepang menyerah kalah pada tentara sekutu.
Dan Buaya Hamka meninggalakan Medan, sehingga setelah berita kemerdekaan
Republik Indonesia, Hamka kembali ke Medan.
Pada musyawarah daerah Sumatera Timur , Hamka menyarankan agar
Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur di serahkan kepada Buya H.
Bustami Ibrahim, akan tetapi Buya Bustami menolaknya. Akhirnya
disepakati untuk tidak memakai istilah Konsul Muhammadiyah Sumatera
Timur, diganti dengan Majelis Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumatera Timur yang diamanahkan kepada Buya M. Nasution, Yusuf Ahmad ,
HM. Bustami Ibrahim, Bachtiar Yunus, Rasami, Dul Pakansi dan A. Malik
munir dengan Pusat Kegiatan di Medan, namun masing-masing kesibukannya
di partai, maka pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur dipegang oleh Buya
Bustami Ibrahim.
B. Muhammadiyah Tapanuli
Tapanuli dan Sumatera Timur merupakan dua daerah administrasi pemerintahan sejak zaman Belanda sampai masa kemerdekaan . Hal ini disebut dengan residenansi yang dikepalai oleh seorang residen. Bekas Residen tersebut masih dapat dilihat pada administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) kendaraan bermotor, seperti A = Keresidenan Banten, B = Keresidenan Jakarta, AB = Keresidenan Yogyakarta, BL = Keresidenan Aceh, BK = Keresidenan Sumatera Timur, BB = Keresidenan Tapanuli termasuk Nias, BA = Keresidenan Sumatera Barat, dll.
Pada tiap daerah keresidenan itu, Hoofd Bestur (PP. Muhammadiyah) membentuk satuan organisasi, waktu itu disebut Konsul Muhammadiyah, seperti Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur yang dipimpin Hamka dan Konsul Muhammadiyah Tapanuli dipimpin HA Mun'in dll. Untuk mengkoordinir kegiatan Konsul Muhammadiyah dalam satu daerah provinsi, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk perwakilan pimpinan pusat, untuk Sumatera Utara dibentuk perwakilan pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diketuai oleh Buya Bustami Ibrahim bertugas mengkoordinir Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur dan Konsul Muhammadiyah Tapanuli.
Pada muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Jogjakarta, ditetapkan perwakilan pimpinan pusat Muhammadiyah di provinsi diganti dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, yang tugasnya tetap mengkoordinir Konsul Muhammadiyah gaya lama.
C. Muhammadiyah Sumatera Utara
Pada tahun 1953, struktur Pemerintah RI membentuk RI membentuk Provinsi Sumatera Utara, terdiri dari daerah Tapanuli, Sumatera Timur dan Aceh, maka Muhammadiyah menyesuaikan diri dengan struktur pemerintahan tersebut. Sehingga PP Muhammadiyah mengamanahkan kepada HM Bustami Ibrahim, H. Affan dan A. Abdullah Manaf, sebagai Koordinator pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara. Sedangkan ketua Muhammadiyah Sumatera Timur diamanahkan kepada Bachtiar Yunus yang dijabatnya sampai tahun 1955.
Untuk periode 1956-1959, dalam pemilihan pimpinan terpilih Abdul Mu'thi, tetapi karena pergolakan politik (peristiwa Nainggolan), periode tidak sempat sampai selesai perubahan struktur organisasi dimana setiap kabupaten/kodya menjadi daerah.
Hal ini dikukuhkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, bahwa perwakilan pimpinan pusat di provinsi menjadi pimpinan Wilayah yang tugasnya tetap mengkoordinir keresidenan (gaya lama) dan lebih rinci pada muktamar Muhammadiyah ke-36 tahun 1965 di Bandung, menetapkan struktur organisasi Muhammadiyah dengan mempedomani daerah administrasi pemerintahan RI dengan susunan sebagai berikut:
1. Cabang merupakan satuan anggota yang terbagi atas ranting-ranting.
2. Daerah ialah satuan cabang dalam daerah tingkat II (Kabupaten/Kodya),
3. Wilayah yaitu satuan daerah dalam Pemda Tingkat I.
Tapanuli dan Sumatera Timur merupakan dua daerah administrasi pemerintahan sejak zaman Belanda sampai masa kemerdekaan . Hal ini disebut dengan residenansi yang dikepalai oleh seorang residen. Bekas Residen tersebut masih dapat dilihat pada administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) kendaraan bermotor, seperti A = Keresidenan Banten, B = Keresidenan Jakarta, AB = Keresidenan Yogyakarta, BL = Keresidenan Aceh, BK = Keresidenan Sumatera Timur, BB = Keresidenan Tapanuli termasuk Nias, BA = Keresidenan Sumatera Barat, dll.
Pada tiap daerah keresidenan itu, Hoofd Bestur (PP. Muhammadiyah) membentuk satuan organisasi, waktu itu disebut Konsul Muhammadiyah, seperti Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur yang dipimpin Hamka dan Konsul Muhammadiyah Tapanuli dipimpin HA Mun'in dll. Untuk mengkoordinir kegiatan Konsul Muhammadiyah dalam satu daerah provinsi, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk perwakilan pimpinan pusat, untuk Sumatera Utara dibentuk perwakilan pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diketuai oleh Buya Bustami Ibrahim bertugas mengkoordinir Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur dan Konsul Muhammadiyah Tapanuli.
Pada muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Jogjakarta, ditetapkan perwakilan pimpinan pusat Muhammadiyah di provinsi diganti dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, yang tugasnya tetap mengkoordinir Konsul Muhammadiyah gaya lama.
C. Muhammadiyah Sumatera Utara
Pada tahun 1953, struktur Pemerintah RI membentuk RI membentuk Provinsi Sumatera Utara, terdiri dari daerah Tapanuli, Sumatera Timur dan Aceh, maka Muhammadiyah menyesuaikan diri dengan struktur pemerintahan tersebut. Sehingga PP Muhammadiyah mengamanahkan kepada HM Bustami Ibrahim, H. Affan dan A. Abdullah Manaf, sebagai Koordinator pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara. Sedangkan ketua Muhammadiyah Sumatera Timur diamanahkan kepada Bachtiar Yunus yang dijabatnya sampai tahun 1955.
Untuk periode 1956-1959, dalam pemilihan pimpinan terpilih Abdul Mu'thi, tetapi karena pergolakan politik (peristiwa Nainggolan), periode tidak sempat sampai selesai perubahan struktur organisasi dimana setiap kabupaten/kodya menjadi daerah.
Hal ini dikukuhkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, bahwa perwakilan pimpinan pusat di provinsi menjadi pimpinan Wilayah yang tugasnya tetap mengkoordinir keresidenan (gaya lama) dan lebih rinci pada muktamar Muhammadiyah ke-36 tahun 1965 di Bandung, menetapkan struktur organisasi Muhammadiyah dengan mempedomani daerah administrasi pemerintahan RI dengan susunan sebagai berikut:
1. Cabang merupakan satuan anggota yang terbagi atas ranting-ranting.
2. Daerah ialah satuan cabang dalam daerah tingkat II (Kabupaten/Kodya),
3. Wilayah yaitu satuan daerah dalam Pemda Tingkat I.
Berdasarkan itulah Muhammadiyah Melikuidasi istilah konsul Muhammadiyah diganti dengan Pimpinan Muhammadiyah Wilayah dan Daerah untuk tingkat I dan II.
Menurut HM Nur Rizali SH dalam Serasehan Sehari, sejarah Muhammmadiyah Sumatera Utara tanggal 22 Juli 1990 di Kampus I UMSU menjelaskan khusus di daerah tingkat II Kodya Medan pernah dibentuk struktur pimpinan dengan nama Badan Koordinasi Pimpinan Muhammadiyah daerah Tingkat II Medan (BKPM) yang diketuai oleh Kapten Mukhtar Kamal. Namun katanya dipenghujung tahun 1967 di Musda pertama Kodya Medan, istilah BKPM diatas diganti dengan struktur Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kodya Medan terpilih ketua lama, sehingga susunan pimpinan selengkapnya menjadi
Ketua Mukthar Kamal, Wakil Ketua I Lukman St. Sati, Wakil Ketua II Harris Muda Nasution, Wakil Ketua III Usman Yakub Siregar, Sekretaris Dasyaruddin Ajus, Wakil Sekretaris I M. Nur Rizali SH, Bendahara H. Monang Samosir, Anggota-anggota Bachtiar Ibrahim, Syafii Khatib dan Darwisah Mukhtar.
Kemudian pada tanggal 21 s/d 23 April 1967 diadakan pula Musyawarah Wilayah-I Muhammadiyah Sumatera Utara, di Jalan Sempurna 66 Cabang Muhammadiyah Teladan Medan. Dalam Muswil I ini sepakat menetapkan struktur organisasi tingkat wilayah dengan sebutan Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara dan kepemimpinan dipercayakan kepada ND. Pane ( Nashruddin Daud Pane ) ia merupakan tokoh pertama menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara, yang dilengkapi Wakil Ketua I Bapak A. Mu'thi SH, dan Wakil Ketua II Moenir Naamin SH, dan Wakil Ketua III, Mukhtar Kamal serta Sekretaris pertamanya Bapak Usman Yakub Siregar. Dengan Peta da'wah Muhammadiyah terdiri dari bekas keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur meliputi 17 Kabupaten, periode ini sampai tahun 1968 Muswil II di Belawan.
Muswil ke-2 Muhammdiyah Sumatera Utara di Belawan ini beralangsung sejak tanggal 20-22 Nopember1968-1971, dan berhasil merumuskan program keda, dan melahirkan personalia Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara Periode 1968-1971 sebagai berikut : Penasehat HM. Bustami Ibrahim, Ketua H. ND Pane, Wakil Ketua I Moenir Naamin, SH, Wakil Ketua II Abdullah, Wakil Ketua III Drs. HM. Yamin Lubis, Sekretaris Ishaq Djar, Wakil Sekretaris Amiruddin Rasyid, Bendahara Macshan Pasaribu, Wakil Bendahara A Kusni Surya.
Menurut HM. Nur Rizali, SH bahwa organisasi Muhammadiyah tingkat Pimpinan Wilayah (PW) Sumatera Utara pada awal periode ini sudah eksis, seperti PW. Aisyiyah diketuai Rasyimah Ilyas, PW. Nasyiatul Aisyiyah, diketuai Juliana Naini, BA. PW. Pemuda Muhammadiyah diketuai oleh OK Kamil Hisyan/M. Rasul Harahap dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang diketuai A Nur Rizali/M. Nawir, BA. PW. Ikatan Pelajar Muhammadiyah diketuai saudara Arkadius Rasyid, Ikatan Karyawan Muhammadiyah diketuai oleh S. By Tanjung dan Petisi diketuai Harris Muda Nasution.
Kualitas assabiqul awwalun diatas, berhasil melakukan pembinaan daerah sepanjang periode 1968-1971 sudah terbentuk 12 Pimpinan Daerah yaitu :
1. Kodya Medan : TA Lathief Rousydi/Kalimin Sunar
2. Kabupaten Langkat : Bachtiar Hasan
3. Kabupaten Deli Serdang : Hasan Basri
4. Kabupaten Karo : Syamsuddin Tanjung (pa. Murni)
5. Kabupaten Dairi : M. Nuh Rahim (Perc. Manora)
6. Kabupaten Tebing Tinggi : A.R. St. Tamenggung
7. Kab. Asahan/Tanjumg Balai : A.H. Syahlan
8. Kab. Simalungun/P. Siantar : St. B Kasim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar